Rabu, 28 Januari 2015

Bukan Soal Berjalan

        Sore itu di depan teras rumah, aku menikmati secangkir kopi hitam hangat  sambil menikmati suasana matahari yang akan jatuh ke peraduannya. Namun mata ini tertuju kepada seorang anak kecil sedang belajar berjalan sembari ditemani ibunya.

       Aku amati bocah kecil tersebut, ketika jatuh bangkit kembali, jatuh dan kembali bangkit.. begitupun seterusnya hingga ibunya menghampiri sambil mengusap pundak bocah tersebut karena menangis jatuh berulang kali.

        Bocah tersebut kemudian diam lalu ibunya pun membiarkan anaknya berdiri lagi dan kembali bocah itu melakukan aksinya. Kali ini sekitar 5 meter dia berhasil melangkahkan kakinya. Nampak raut wajah ceria dari bocah tersebut yang baru saja berjalan jauh. Pun ibunya hanya bisa mencium pipi gembul dari bocah tersebut. Wujud kebahagiaaan kecil dari Sang Pencipta, pikirku.

        Tiba - tiba terdengar kalimat "tuh le, anak kecil aja kalo jatuh bisa bangun  lagi biar bisa jalan", ibuku yang sedang menggosok baju menyaut dari dalam rumah. Dalam hatiku ternyata ia juga melihat aksi bocah tersebut.

       Terbesit pikiran bahwa semangat juang memang sudah tertanam dari kecil, dapat dibayangkan bila bocah tersebut sudah putus asa mungkinkah kelak dia bisa berjalan.
Kita adalah hasil perjuangan yang tak hanya soal berjalan. Untuk apa menyerah?

Selasa, 27 Januari 2015

Sosok Ibu

Ibu merawat keluarga tanpa rasa letih dan keluh kesah,
beliau adalah sosok yang perkasa.

Perasaan peka serta kasih sayang yang tulus melahirkan cinta tanpa alasan.
Walau tak jarang melukai perasaannya namun tak ada alasan untuk berhenti mencintai.

Bagaimana jika kusebut malaikat, karena dalam kondisi apapun ia selalu ada tanpa syarat.
Melindungi hati dari luka , karena memang ia tercipta dari tulang rusuk.
dan bukankah tulang rusuk yang melindungi hati dan jantung agar tidak terkoyak?

Maha besar engkau sang pencipta segalanya.
Kasih ibu itu bulat, tiada awal dan akhir. Selamanya akan tetap begitu.

Aku sepatutnya bersyukur dan sudah sepantasnya membalas.
Hanya dikakinya kita dapat menemukan surga
Aku sayang ibu


Senin, 26 Januari 2015

Diam Itu Lebih Baik?

"Diam itu adalah emas" adagium yang sudah dikenal dan ditelan mentah-mentah oleh sebagian besar jika kita bicara tentang bagaimana menyikapi masalah. Secara umum mungkin mereka lebih memilih diam untuk sekedar meredam masalah. Dengan diampun banyak hati yang terselamatkan dari luka.

Namun apa benar diam itu emas? Membiarkan kesewenangan dari luar mengontrol diri dari setiap insan. Sejujurnya dalam diri masih tersimpan bara untuk sekedar mengungkapkan pendapat namun kebanyakan lebih memilih diam, ya karena diam itu emas.

Ada lagi kalimat tua yang mengatakan "Tong Kosong Nyaring Bunyinya" sejak kecil sudah tertanam, merupakan pembenaran dari kalimat bijak diam itu adalah emas.

Memang benar ada baiknya kita diam, namun berkata pun bukan hal yang buruk. Hanya sekedar menyelamatkan hati seseorang dari luka bukanlah suatu kebenaran jika memang patut diperjuangkan. Terpaku pada kalimat tua tong kosong nyaring bunyinya, mengartikan seolah-olah orang diam itu yang berilmu. Tidak semuanya benar, ada kalanya kita berbicara dan diam untuk mendengar.

Seorang guru mengatakan bahwa manusia yang saling memberikan pendapat dan menerima masukan adalah manusia seutuhnya. Namun manusia yang tidak memberikan masukan dan tidak memberikan pendapat adalah manusia jadi-jadian.  Dipahami jika manusia sendiri memiliki keseimbangan dalam hidup yakni menerima dan memberi, kita dapat belajar dari menerima dan berbagi dari memberi.

"Diam itu baik namun berbicara itu tidak buruk"