Rabu, 13 Februari 2013

Hedonisme Harus Mati

            Manusia sejak lahir memiliki naluri untuk mencari kesenangan, naluri semacam ini sudah menjadi kodrat alamiah yang dimiliki setiap manusia untuk melangsungkan kehidupan duniawinya. Namun apakah kesenangan tersebut bisa berlaku bebas? melihat realita yang ada kesenangan yang berlebih justru condong ke dalam paham hedonisme. Dimana - mana manusia hanya mencari kesenangan dan kenikmatan yang bersifat materi. Pandangan hidup semacam ini sangat meracuni kepribadian manusia, mereka berfoya-foya, berpesta pora, menghamburkan uang, dan semua hal itu dilakukan hanya untuk memenuhi kesenangan dirinya. Gaya hidup seperti ini sangat tidak peka terhadap kondisi di sekelilingnya, mereka bersikap masa bodo dengan golongan minoritas. Apakah masih pantas mereka hidup berfoya-foya sementara itu banyak sisi lain yang menderita, sisi dimana mereka mengais nasi dari sampah kapitalisme, merintih sakit karena kebelengguan oknum perusak dan menghirup oksigen dari pohon berbahan beton. Hal inilah yang ditakutkan terjadi dari paham hedonisme itu sendiri, mereka menjadi buta akan sebuah gejala, mereka terkesan mati akan sebuah tragedi, dan pada akhirnya mereka menjadi hamba dari hedonisme itu sendiri.

    Budaya hedon itu sendiri biasa terjadi dari masyarakat kota-kota besar, mereka dituntut untuk merasa bosan akan sebuah kemajemukan dan padatnya rutinitas, sehingga mereka pun membutuhkan kegiatan yang dianggap perlu untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Mereka sebisa mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan demi tercapainya tujuan yakni kesenangan. Mereka bisa lupa akan sebuah batasan kebebasan, mereka bisa terjerumus dalam sebuah kemuslihatan, mereka bisa lupa akan hakikatnya sebagai manusia di bumi, dan pada akhirnya mereka akan terasingkan oleh aturan yang mengelilinginya. Konsumtif dan serba mewah adalah hal yang dapat dicerminkan dari apa yang bisa dilihat dari negeri ini, lihat saja mobil para anggota dewan, barang-barangnya, rumahnya dan tren hidup mewahnya, tidak selaras dengan apa yang dimiliki dengan para pemberi amanah.Semakin jauh jarak antara kaum borjuis dan kaum protelar semakin mencerminkan kalau budaya hedonis tidak pantas untuk negara berkembang.

               Kita lihat kaula muda semakin dangkal akan sebuah pengetahuan, mereka cenderung menikmati hidup dengan sebebas-bebasnya tanpa mengindahkan akibat yang di deritanya nanti. Mereka senang dengan 'dunia malam', senang makan 'obat', menari di tengah bulan, meminum air 'keramat',dan seks bebas menjadi kegiatannya. Seraya menjadi hal yang biasa bahkan menjadi hal yang lumrah bagi kalangan anak muda atau menjadi gaya hidup yang hebat seperti monyet yang tak punya batasan. Semua itu hanya didasarkan pada satu kata yakni kesenangan. Kesenangan tanpa batasan merupakan hak asasi yang kebablasan, hanya mencari kesenangan setan tanpa didukung dengan kesenangan dengan tuhan.

          Hedonis dan budaya konsumtif merupakan efek negatif dari globalisasi, budaya barat yang dipaksakan masuk untuk meracuni pribumi seraya alat dari kapitalisme untuk mengubah ideologi bangsa. Maka tak heran  banyak orang apatis dari budaya ini, karena mereka lebih senang mengkonsumsi dibandingkan memproduksi dan terkadang mereka lupa akan sebuah hak sesama pengguna bumi. Mengkonsumsi dengan cara berlebihan dan cenderung tidak fungsional salah satu timbulnya budaya konsumerisme dan hedonisme. Batasi kesenangan, seperti kata patrik star "persembahan yang berlebihan itu tidak baik".  oleh karena itu menghindari hedonisme dan konsumerisme merupakan hal yang harus dilakukan seoptimal mungkin untuk tercapainya generasi yang mempunyai jiwa kritis dan peduli terhadap lingkungan sehingga indonesia mampu di puncak kejayaannya. oleh karena itu skeptislah insan



Sabtu, 09 Februari 2013

Media dan Sensasi

Media merupakan sarana penting bagi masyarakat untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi dari setiap gejala serta perkara yang terjadi didunia ini, selaras dengan konsep masyarakat yang haus akan sebuah pengetahuan, media dapat membentuk karakter bangsa. Sesuai dengan amanat UU Pers dan UU Penyiaran, media massa memiliki peran membangun karakter bangsa yang bermartabat, serta wajib bertanggung jawab  dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa. Karena itu, pengelola media massa dipandang perlu untuk mendapatkan pendidikan karakter berdasarkan pada nilai-nilai dan falsafah negara, Pancasila.  


Namun tidak terlepas dari apa yang ditujukan UU sebagai pembentuk karakter bangsa. konsep media yang dijajaki pada masa sekarang lebih menganut kepada konsep jurnalisme borjuis. kenapa? saya ambil contoh kasus beberapa waktu lalu. Salah satu artis papan atas yang terlibat dalam kasus narkoba, lewat media tak ubahnya menjadi hal yang luar biasa. Parahnya lagi pemberitaan tersebut mendominasi layar kaca maupun lembaran-lembaran koran harian, sedangkan berita kelaparan dan penderitaan rakyat akibat dari kepura-puraan mereka yang di Senayan sana tidak mendapatkan tempat sedikitpun di hati media. apakah ini yang dinamakan peranan media membangun martabat bangsa yang bermartabat? atau ini juga yang membentuk karakter bangsa? yang katanya sesuai dengan UU pers dan penyiaran. Teringat dalam kata - kata seorang Njoto yang mengkritik adagium pers borjuis "Anjing menggigit manusia bukanlah berita namun manusia menggigit anjing itulah berita" jurnalisme semacam ini tidak peka terhadap penderitaan orang namun sangat peka terhadap hal yang sensasi dan bombatisme, misalnya mencari keburukan orang lain dan memberitakannya menjadi hal yang luar biasa. Sesuatu yang dianggap menghibur, aneh, dan sensasional dianggap sebagai peristiwa dan layak untuk dijual, karena hal ini masih dapatkah media membentuk karakter bangsa? atau itu hanya retorika semata serta tanpa tindak nyata yang pada akhirnya hanya bualan semata. 


Mungkin ada beberapa hal yang mempengaruhi hal-hal tersebut. Dari segi kepemilikan media terlihat kalau pemilik media di indonesia sebagian besar adalah konglomerat yang biasanya memiliki relasi yang kuat dengan kekuatan politik yang pada akhirnya pemilik media mengarahkan para pekerjanya untuk menjaga citra politik di media nya sendiri. Dari segi pendapatan perusahaan media, yang orientasi komersilnya terlampau berlebihan dengan iklan menjadi sumber pendapatan utama, bicara hal tersebut kapitalisme sudah masuk ke dalam media, yakni mengutamakan profit dibandingkan nilai UU dan falsafah negara, Pancasila. 

Menggunakan media serta pengelolaan media secara baik dan sesuai peranannya adalah hal penting dalam membentuk media yang jujur, berimbang, dan bisa dipertanggungjawabkan. Keterbukaan pikiran masyarakat dalam informasi merupakan suatu keuntungan bagi media untuk terus memberikan informasi yang mendidik serta membangun demokrasi yang sehat. Selama masih ada gaya jurnalisme yang bersifat sensasi dan bombastis terselip dalam sebuah konsep media maka masyarakat semakin tertipu dan terjerumus ke dalam lubang kebodohan karena tidak mungkin mendapatkan informasi yang benar-benar akurat, presisi dan bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu skeptislah indonesia.